Saturday 3 June 2017

BAHASA INDONESIA: Agama Ageming Aji

Agama ageming aji
Agama itu perisai diri.
Sebuah kisah hidup di perantauan.



Dari sekian serat macapat yang diajarkan waktu kecil, salah satu lirik dari tembang Pangkur ini paling membekas diingatan. Agama itu perisai diri. Setidaknya itu yang saya rasakan di perantuan.
Perisai diri bukan digunakan untuk menyakiti orang lain, perisai diri sifatnya ke dalam, melindungi diri sendiri. Di perantauan, ada banyak hal yang bertentangan dengan prinsip agama yang saya anut. Saya tidak berhak memaksa orang lain memahami agama saya. Jadi, di sini agama menjadi perisai atau penyaring budaya dari luar.

Karena sifat agama sebagai perisai diri lebih ke dalam, jika saya bertemu dengan teman yang memilih jalan berbeda maka tidak masalah. Saya tetap bisa melakukan hal-hal positif bersama. Hanya saya tidak ikut jika sudah bertentangan dengan prinsip agama. Misal, saat makan bersama di luar. Bagi saya setiap orang berhak memilih makanan yang dia makan. Tidak hanya muslim, pemeluk Yahudi memiliki hukum makanan sendiri yang disebut kosher. Para vegan dan vegetarian juga memiliki prinsip ketat dalam hal pengolahan makanan. Beberapa orang pun memiliki alergi dan ketidaksukaan pada makanan tertentu. Lantas, karena hanya makanan, lalu saya tidak berteman? Tidak. Semua bisa dibicarakan. Sering kali saat memutuskan makan di luar menu yang dipilih adalah menu yang tidak saya makan. Kalau sudah begitu, biasanya saya akan meminta untuk dipesankan menu lain. Alhamdulillah selalu ada. Sembari makan, saya bisa membicarakan hal-hal menarik bersama mereka. Di waktu ini sering menjadi kesempatan saya berbicara tentang makanan halal. Jika kita menolak makan bersama mereka hanya karena mereka akan makan babi dan ada menu lain misalnya, ada kesempatan "bercerita" yang hilang.



piknik bersama saat festival chicken and beer di Daegu. Jangan terkejut dulu dengan judulnya. Di festival ini juga ada stand Nazar kebab. Jadilah saya makan kebab dan ayam halal hehe

Saya juga belajar muslim di penjuru dunia tidaklah sama. Pemikiran dan tingkah laku juga dipengaruhi oleh adat dan budaya negara. Saya tidak bisa menerima pemikiran teman tentang posisi wanita dalam Islam. Dia berpendapat wanita sejatinya di rumah saja. Lalu, bagaimana Khodijah istri nabi saw? Beliau adalah pedagang. Setelah saya cek, memang budaya yang bersangkutan kental dengan patrilianilisme. Sementara sejak kecil saya dididik dengan budaya bipatriliasme. Lain kawan dari negara pecahan Rusia, di sana Islam dijalankan secara tradisi. Bentuk pengaruh budaya Rusia pun dapat diketahui seperti minum bir. Hanya saja mereka tidak makan babi. Pertama kali mengetahui hal ini saya cukup terkejut. Tapi saya lebih terkejut ketika kawan menceritakan keterkejutannya melihat perempuan berkulit gelap mengenakan hijab. Dia berujar di negaranya hijab memiliki sentimen negatif. Tidak ketinggalan juga ada cerita mengenai orang-orang Arab yang belajar bahasa di Korea.. Di negara tercinta, Arab selalu diidentikan dengan Islam. Menurut pendapat saya, ini kesalahan fatal. Islam bukan Arab. Islam bukan milik bangsa Arab. Di Korea, banyak orang Korea berbahasa Arab. Kalau di Indonesia, jika non muslim masuk jurusan bahasa Arab, pasti akan disebut salah masuk jurusan. Sayang sekali. Kembali ke cerita soal kehidupan orang Arab di sini, banyak di antara mereka melaksanakan sembahyang tapi juga ada yang tidak. Saya teringat cerita guru bahasa Korea saya. Dia bertanya orang-orang Arab di sini makan ayam (non halal) dan minum bir , kenapa kamu tidak? Haha Saya hanya tertawa. Saya jawab di agama yang saya anut hal tersebut tidak diperbolehkan. Tapi itu kembali ke pilihan pribadi.

Merayakan lebaran pertama kali bersama saudara seiman. Indah kan?Tapi walaupun seiman bukan berarti kami sama pemikiran dan pilihan. 

Nah di antara kisah yang paling berkesan dengan saudara-saudara muslim adalah ketika saya membeli kebab di sebuah warung kebab Turki. Penjualnya ada dua. Satu orang Korea dan satu orang Turki. Secara budaya, saya memiliki ketertarikan dengan dua budaya ini. Singkat cerita, orang Korea bertanya tentang hijab yang saya kenakan. Selalu sama. Mereka tertarik untuk tahu alasan mengapa saya memakai penutup kepala ini. Namun, si pedagang rupanya tahu kalau banyak wanita muslim yang tidak mengenakan tutup kepala juga. Dia menanyakan pendapat saya.  Saya menjelaskan bahwa hijab itu kewajiban dan tertulis dalam kitab suci, tapi sekali lagi pemakaiannya dikembalikan pada pilihan individu. Ketika saya sedang menjelaskan ini, pedagang Turki di sebelah memotong pendapat saya. Saya sebenarnya agak terkejut. Memang saya bersuudzon dari awal. Karena  pedagang ini bertato, mungkin tidak tertarik tentang hal berbau agama. Tapi saya salah. Allah mengingatkan saya. Ini ucapan beliau yang saya ingat. " Katakanlah sejujurnya. Jangan disembunyikan. Hijab itu kewajiban. Yang tidak memakainya itu salah". Tak puas, saya menguji perkataannya dengan perilaku orang-orang muslim yang minum khamr. Dia berujar" itu juga sama saja. Aturannya jelas. Mereka salah". Wah, ini tamparan keras bagi saya. Terlepas dari pendapatnya tentang hijab dan khamr. Saya sudah berbuat salah. Perisai diri saya tidak cukup membentengi diri dari berburuk sangka. Seorang pedagang Turki bertato penuh di lengan mengucapkan kata-kata yang saya sendiri tidak sanggup mengucapkannya. Dari kisah ini saya belajar banyak. Saya tidak boleh berburuk sangka hanya karena tampilan luar.

Di perantauan, perisai diri akan ditempa. Tidak ada orang yang akan mengingatkan sudah shalatkah kamu. Apakah kamu puasa Ramadan? Apakah makananmu halal? Tidak ada. Jadi sudah pasti perjuangan. Perjuangan bukan melawan orang lain. Tapi melawan ego dan nafsu sendiri. Jika sekarang di Indonesia sedang ramai dengan artikel agama sebagai warisan, saya rasa istilahnya kurang pas. Di era globalisasi dan internetisasi, semua bisa dipilih dan ditinggalkan. Ada orang yang lahir sebagai orang Asia tapi berkewarganegaraan Amerika. Ada orang yang mengubah rupa mereka dengan operasi plastik sesuai dengan keinginan. Ada yang mengubah jenis kelamin. Ada yang mengubah agama. Karena ada kebebasan memilih, bagi saya agama bukan warisan. Agama adalah perisai diri. Perjuangan diri. Mungkin saya terlahir dari keluarga muslim dan dibesarkan dalam pendidikan Islam. Islam saya bukan warisan, tapi saya dengan sadar memilih agama ini. Jika tidak, sudah pasti saya tinggalkan. Banyak kawan saya memutuskan untuk melakukan perubahan besar dalam hidup mereka. Ada yang berpindah agama dan ada juga yang melepas penutup kepala. Saya tidak menyalahkan. Itu urusan mereka. Secara pribadi saya bersedih tapi hidup mereka bukan hak saya untuk ikut campur. Mereka juga tidak memaksa saya untuk mengikuti langkah mereka atau mencela yang saya yakini

Saya dan botol anggur. Saya tidak menuangkan anggur ini. Saya juga tidak meminumnya. Saya ke terowongan wine ini bersama kawan sekelas. 

saya dan makanan halal terfavorit di Korea. Kebab!

Ini sekelumit cerita saya di perantauan. Saya mengajak kawan-kawan pembaca untuk lebih terbuka dengan perbedaan. Selama kita memiliki perisai diri, perbedaan tidak akan menjadi masalah. Jangan jadikan agama untuk tameng (alasan) Anda menyakiti orang lain baik dalam bentuk lisan maupun non lisan. Jika ada yang mencela yang kita yakini, mari doakan. Saya pernah membenci Lindsay Lohan karena gaya noraknya. lagi -lagi Allah menampar saya dengan keras. Lindsay sekarang lebih baik daripada diri saya sendiri.

Salam perdamaian!