Thursday 13 July 2017

BAHASA INDONESIA : Kuliah di Korea

Salam!

Terinspirasi dari semangat Nas (cari saja profilenya di Facebook) yang mengajak semua orang untuk menghasilkan satu karya setiap harinya, saya putuskan untuk menulis lagi. Mungkin postingannya akan bergonta-ganti dalam empat bahasa. Bahasa Korea dan Jawa akan menjadi selingan. Sedangkan postingan utama akan saya tulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris. 

Untuk topik kali ini, sengaja saya tulis dalam bahasa Indonesia. Segala pemikiran saya tentang perkuliahan di Ewha womans university.

Universitas Lokal vs Universitas Luar Negeri

Jangan salah. Saya masih bangga dengan almamater lokal saya. Keduanya ada sisi positif dan negatifnya. Universitas lokal tidak kalah saing dengan universitas di luar negeri lho. Saya sangat mengagumi karakter budaya yang ditanamkan UGM dan program KKN. Sayangnya, universitas lokal cenderung monoton dan terbatas untuk masalah jurusan. Kurang menyesuaikan dengan perkembangan jaman. Misalnya, jurusan penerjemahan  di luar negeri, tidak hanya Korea, berdiri sendiri. Tidak dicampur dengan jurusan bahasa dan sastra. Mengapa? Karena dalam jurusan penerjemahan mereka dituntut untuk lebih banyak latihan di lapangan. Misalkan menerjemahkan lisan sebuah seminar. Jurusan ilmu alam pun masih terbatas pengembangannya. Mungkin ini juga terkendala dengan modal yang disuntikkan oleh pemerintah. Di Korea, pemerintah mendirikan program PRIME. Program ini bertujuan untuk menyiapkan SDM yang siap terjun dan berguna dalam pengembangan industri. Contoh jurusan kerobotan. Saya hampir kadang-kadang tidak habis pikir bagaiman universitas di Korea ini mengurusi berbagai jurusan dan prodi.
Kalau saya pribadi, memilih melanjutkan s2 di Korea selatan karena faktor jurusan. Belum ada jurusan s2 bahasa Korea ataupun Korean studies di Indonesia. Di UGM, walau sudah menjadi wacana dari dulu, belum terealisasi. Jadi, sebaiknya sebelum memutuskan lanjut ke jenjang s2 , kenali dulu jurusan yang ingin diambil
Pertimbangkan juga soal pembiayaan.

Enaknya sekolah di luar, bisa jalan-jalan

Sebaliknya saya ingin berkata enak kuliah di Indonesia, jalan-jalan ke 17000 pulau pun bisa. Makan dan minum tidak perlu pikir dua kali. Tidak harus menghabiskan separuh waktu di laboratorium.
Percayalah jalan-jalan itu penghiburan. Jalan-jalan yang kami tunjukkan itu bukan suatu prestasi yang perlu diiirikan. Dibaliknya mungkin ada berhari-hari malam tanpa tidur , tangis di kamar dan masih banyak hal yang tidak seindah gambar.
Kedua, saya yakin hampir sama di berbagai belahan dunia. Mahasiwa itu kere dan hidupnya serba pengiritan. Susahlah dibandingkan dengan para pekerja Indonesia. Mereka jauh lebih mapan. Tentunya kerja mereka tidak segampang membalikkan telapak tangan.

Cewek mau jadi apa kuliah sampai s2?

Saya mau jadi diri saya yang lebih baik. Setiap wanita berhak dan wajib mengembangkan dirinya. Tidak harus lewat pendidikan formal. Tidak wajib juga. Tapi juga tidak ada larangan bagi mereka yang ingin bersekolah sampai ke jenjang paling tinggi. Banyak kasus orang akan ciut jika bertemu cewek-cewek dengan pendidikan tinggi. Sebenarnya ini bukan salah pendidikan tinggi cewek tapi pola pikir orang tersebut.

Sekolah di sekolah cewek, ga bosen?

Seorang pramu niaga di sebuah toko kosmetik dengan ceplas ceplos menanyakan sekolah saya dengan nada nyiyir. Ewha womans university memang sekolah cewek dan milik cewek. Jika diteliti bahasa Inggris, womans seharusnya ditulis women. Tapi demi sejarah, nama Ewha tetap disebut womans. Sekolah ini didirikan seorang misionaris Amerika bernama Mary tahun 1886. Murid pertamanya hanyalah seorang wanita simpanan bangsawan. Jaman dulu di Korea (dinasti Joseon penganut neo konfusianisme), wanita tidak berhak mendapatkan pendidikan tinggi. Tragis memang. Wanita sepintar Sinsaimdang pun harus terkungkung karena tradisi. Dari mulai satu murid, Ewha terus berkembang sampai sekarang.
Apakah iya Ewha hanya menerima murid perempuan? Ewha menerima siswa pertukaran atau peneliti tamu laki-laki.
Ewha mungkin tidak berada ditingkat tiga besar universitas terbaik Korea tetapi karena statusnya sekolah wanita membuat suasana bersekolah di sini beda. Cewek-cewek di sini rajinnya kebangetan. Buku dan perpustakaan adalah makanan sehari-hari. Kalau lewat depan gerbang, cewek-cewek ewha banyak yang kelihatan modis. Tapi kalau berkunjung ke area ruang belajar. Isinya para pejuang yang keluar hanya untuk makan dan ke toilet.

Kawan-kawan dan lingkungan belajar

Orang-orang Korea itu baik. Bahasa mereka ada bentuk sopan. Itu membentuk pribadi mereka jadi orang yang bisa menempatkan diri di setiap situasi. Tapi mereka semangat kerja atau belajarny tinggi. Budaya palli palli atau kadang buatku lebih seperti budaya grusa grusunya tercermin di setiap segi kehidupan di sini. Antri di sini di layani secepat kilat. Di stasiun Seoul, saya dibilangin sama bapak kasir penukaran uang. Kata beliau, orang Malaysia atau Indonesia kalau ngitung uang pasti pelan-pelan. Batinku, aku tadi agak pelan karena takut uangnya kurang. Contoh itu cuma sebagian kecil. Budaya cepat juga buat orang di sini gak sabaran. Ngomong aja cepet kayak lagu-lagu rapnya. Makan ramyeon panas juga diseduh dengan cepat. Naik motor atau mobil juga ngebut, utamanya para abang pengiriman makanan. Wifi yang super cepat. Nah yang paling ekstrim, bongkar dan bangun toko itu cepetnya minta ampun. Misal hari ini toko A itu toko kosmetik bisa jadi besok  udah berubah jadi toko baju. Jadi jangan pernah pakai patokan toko kalau mau ngapalin jalan di Korea. Buatku saya pribadi yang dibesarkan dalam budaya Jawa, budaya Korea adalah kebalikan dari budayda Jawa. Hampir semuanya. Di sini nutup ur keras, teriak, makannya kecap bukan termasuk perilaku tidak sopan. Lah di rumah saya bisa diomelin tiga hari itu.

Dalam dunia perkampusan, budaya cepat ini memudahkan siswa untuk mengurus semua persoalan administrasi. Semisal surat keterangan aktif bisa langsung diprint dari mesin. Gak perlu repot-repot ke staff administrasi minta cap. Masih inget kata-kata manajer kantor internasional di hari orientasi. Kalian harus punctual. Harus jelas mintanya apa dan ikutin semua peraturan. Gak seperti universitas lain, alhamdulillah, ewha selalu tepat waktu mengirim uang beasiswa.
Di Ewha ini ga setiap fakultas punya perpus kaya di Indonesia. Di UGM kayaknya setiap fakultas punya masing2 perpustakaan. Ada dua jenis perpus. Perpus utama dan perpus teknik. Bisa dipesen buku yang mau dipinjem. Perpus utamanya gak segede perpus  UGM atau UI sih tapi mereka punya ruang belajar yang nyaman banget. Ruang belajar itu apa? Ya ruang untuk belajar atau baca buku. Tempat bisa dipesan lewat aplikasi.

Paling penting, budaya jalan kaki. Di sini jalan kaki adalah makanan sehari-hari. Sudah baca artikel yang menempatkan Indonesia di posisi buncit masyarakat yang malas berjalan kaki? Ayo, kita ubah. Waktu saya pulang ke Indonesia dan mampir UGM,  hampir ga ada yang jalan kaki dari stasiun lempuyangan ke UGM. Sepanjang jalan abang-abang becak dan ojek melambai untuk menawarkan jasa. Tapi saya tolak. Bukan masalah saya tidak mau berbagi rezeki tapi kaki saya mau jalan. Fasilitas pejalan kaki di Jogja atau bahkan di berbagai kota sudah ada lo, tapi karena ga ada yang jalan jadi dipakai jualan. Nah yang paling sedih di dalam kampus, juga jarang ada yang jalan. Mobil mobil justru bertambah dari tahun ke tahun. Dulu waktu masih jadi mahasiswa saya gak bersalah pakai motor ke kampus, tapi setelah hidup di negara orang, sepertinya memang ada yang salah. Budaya malas. Budaya peninggalan feodalisme